PENGARUH BUDAYA DALAM LINGKUNGAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Ekologi Pemerintahan
Pada Jurusan Ilmu Pemerintahan(S-1)
Disusun Oleh :
PRAMONO SETIA BUDI
6111071053
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2010
KATA PENGANTAR
Puji sukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan saya kekuatan dan kesehatan, hingga saya dapat mampu menyelesaiakn tugas makalah Pengaruh budaya Dalam lingkungan Pemerintahan daerah di Indonesia. Dalam penyusunan makalah ini saya banyak mendapat pelajaran serta kesulitan,tetepi berkat bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak, ahirnya makalah ini dapat diselesikan tepat waktu,oleh karena itu maka dari itu saya ucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dosen pengampu mata kuliah Etika Pemerintahan
2. Teman-teman kos
3. Dan pihak-pihak yang telah member kontribusi dalam proses penyusunan
Saya menyadari sekali,dalam penyususnan makalah ini masih banyak kekurangan baik dari tata bahasa ataupun masalah tenis penulisan dan jauh dari kata sempurna itu semua semata-mata atas keterbatasan saya dalam proses belajar, oleh karena itu saya harap kritik dan saran guna memperbaiki kelemahan tulisan saya.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini kiranya makalah ini dapat bermanfaat baik untuk pribadi maupun rekan-rekan serta pihak lain yang terinspirasi dari makalah Pengaruh budaya Dalam lingkungan Pemerintahan daerah di Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia tidak lepas dengan linkungan hidupnya begitu pula dengan lingkungan/ekologi pemerintahan ini merupakan bagian terpenting dari sebuah kehidupan karena menentukan kualitas maupun kuantitas pemerintah itu sendiri dalam menjalankan pemerintahan maka dibentuk lembaga-lembaga pemerintah dewasa ini kita sering melihat secara nyata, lembaga pemerintahan seperti legislatife, eksekutif, dan yudikatif terpengaruh budaya daerah asal masing masing daerah begitu pula budaya melekat dalam setiap jiwa para aparatur pemerintah yang secara tidak langsung mempengaruhi kinerja serta karakter aparatur dalam menjalankan pemerintahan.
Warisan sistem pemerintahan sentralistik Pola pikir yang terbentuk sebagai akibat pengalaman selama ini dengan sistem pemerintahan dan pembangunan yang sentralistik, lemahnya pengawasan, ketidaktanggapan dalam mengubah pendekatan dan strategi pembangunan, serta ketidak selarasan antara kebijakan dan pelaksanaan pada berbagai bidang
pembangunan dan terjadinya krisis ekonomi telah menyebabkan melemahnya kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas secara otonom, tidak terdesentralisasinya kegiatan pelayanan masyarakat, ketidakmerataan pertumbuhan ekonomi antar daerah, dan ketidak berdayaan masyarakat dalam proses perubahan sosial bagi peningkatan kesejahteraan di berbagai daerah. Dalam konteks Indonesia, dengan tidak mengesampingkan faktor ketida kadilan, geopolitik, dan etnisitas, tampak kecenderungan mengidentifikasi gerakan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perbedaan agama,budaya turut mendorong ketegangan politik, bahkan dapat memicu separatisme.
Sedangkan Budaya merupakan konsep yang meliputi banyak hal (luas). Hal tersebut termasuk segala sesuatu dari pengaruh proses pemikiran individu dan perilakunya. Ketika budaya tidak menentukan sifat dasar dari frekuensi pada dorongan biologis seperti lapar atau seks, hal tersebut berpengaruh jika, kapan, dan bagaimana dorongan ini akan memberi kepuasan.
Budaya adalah hal yang diperoleh. Ia nya tidak dimasukkan mewarisi respon dan kecenderungan. Bagaimanapun, semenjak perilaku manusia dari perilaku. Kerumitan dari masyarakat modern merupakan kesungguhan dimana budaya jarang memberikan ketentuan yang terperinci atas perilaku yang tepat. Budaya terutama dijalankan oleh keadaan yang batasannya cukup bebas pada perilaku individu dan oleh pengaruh fungsinya dari institusi seperti keluarga dan media masa. Kemudian, budaya memberikan kerangka dalam yang mana individu dan rumah tanga gaya hidup menyusun. Batasan dimana perangkat budaya dalam perilaku disebut norma, yang merupakan aturan sederhana dimana menentukan atau melarang beberapa perilaku dalam situasi yang spesifik. Norma dijalankan dari nilai budaya. Dimana nilai budaya adalah kepercayaan yang dipertahankan dimana menguatkan apa yang diinginkan. Pelanggaran dari norma budaya berakhir dengan sangsi yang merupakan hukuman dari pencelaan sosial yang ringan untuk dibuang dari kelompok.
Identifikasi etnik dengan agama tampak dari pola penyikapan terhadap suatu gerakan politik. Respons itu tidak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari kelompok agama tertentu yang merasa dirugikan. Konflik politik yang dipicu etnosentrisme umumnya berpangkal pada persoalan ketidakadilan, kesenjangan, dan perbedaan ideologi. Salah satu penyebabnya adalah mekanisme dampak saring (filtering effect), yaitu suatu dampak yang disebabkan program pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang sesuai dengan program pembangunan, sementara mereka yang tidak masuk dalam standar tidak memperolehnya.
Sementara itu, segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat ke dalam ikatan-ikatan primordial dengan subkebudayaan yang berbeda dengan lainnya sangat mudah melahirkan konflik-konflik sosial. Dalam hal seperti ini, konflik politik biasanya terjadi dalam dua dimensi. Pertama, pada tingkatan ideologis, berupa konflik antara sistem nilai yang dianut oleh etnik pendukungnya serta menjadi ideologi dari kesatuan sosial. Kedua, pada tingkatan politis; konflik ini terjadi dalam bentuk pertentangan dalam pembagian kekuasaan dan sumber ekonomi yang terbatas dalam masyarakat.
Dalam kondisi demikian, sadar atau tidak, setiap yang berselisih akan berusaha untuk meningkatkan dan mengabdikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya,membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama, membentuk lembaga- lembaga untuk memperkuat identitas kultural, meningkatkan sentimen etnosentrisme, stereotipisme,keagamaan, dan usaha-usaha lain yang berbasis primordialisme. Banyak kalangan berpendapat bahwa integrasi nasional dan sosial adalah solusi atas etnosentrisme, dengan meredam konflik politik berbasis perbedaan etnik, agama, dan kedaerahan.
Namun, patut disadari bahwa integrasi adalah proses sosiologis yang tidak bisa dilakukan dan ditempuh dalam waktu yang singkat.Ia memerlukan proses pembudayaan dan konsensus sosial politik di antara suku bangsa (etnik) yang ada di dalam negara kesatuan Indonesia. Konsensus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa Indonesia harus diwujudkan atau diselenggarakan, yang seyogianya dapat kita temukan dalam proses pertumbuhan Pancasila sebagai dasar falsafah atau ideologi negara.
Keindonesiaan yang multietnis, heterogen, dan majemuk harus terus dikuatkan eksistensinya melalui implementasi ideologi Pancasila, khususnya dalam bidang pengembangan kesejahteraan sosial dan peningkatan pendidikan. Pendidikan merupakan kunci kemajuan berpikir yang melahirkan intelektualitas, profesionalisme,dan sikap toleransi yang pada gilirannya akan melahirkan warga negara yang tidak saja memiliki kesetiaan lokal (budaya, suku, dll), tapi juga mempunyai rasa nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan-persoalan yang bernuansa separatisme kedaerahan yang sempit pada saat itu dapat diredam dengan pendekatan stabilitas politik dengan nuansa pembangunan pertumbuhan ekonomi yang secara artifisial cukup memuaskan, unutk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) rakyat disertai dengan sistem pemerintahan yang sentralistik. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang dashat pada akhir tahun 1337 yang pada akhirnya tidak dapat diatasi dan kemudian disusul oleh krisis multidimensional akibat sinergi negatif antara krisis ekonomi dan keadaan sosial politik yang tidak sehat yang sebenarnya merupakan "api dalam sekam" maka meledaklah ketidakpercayaan pada penguasa pada waktu itu sehingga orde baru jatuh dan digantikan oleh orde reformasi.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Pengaruh negatife budaya dalam lembaga pemerintahan
2. Pengaruh Multi kultur meninbulkan beragam karakter,rawan disintegrasi
3. Aspek struktural, yakni penelusuran kaitan dan koordinasi kerja setiap tingkatan instansi membutuhkan komunikasi yang komleks dalam menjalankan pelayanan
4. Tidak semua budaya menunjang kinerja baik untuk para aparat pemerintah
5. mengetahui sampai sejauh mana kebudayaan mempengaruhi pemerintaha..
1.3 Metodologi Penulisan
Dalam tulisan saya ini saya nenganalisis fenomena oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia, dengan metode penulisan melalui setudi pustaka dari literature-literatur dalam internet serta buku-buku dan Koran serta data-data lainya secara makalah ini di susun secara deskriptif , wacana ini saya angkat melihan fenomena century, dengan bergulirnya hak angket yang di jalankan DPR untuk menguak sekandal ini, serta pecahnya kolisi dan menangnya oposisi dalam kasus ini
1.4 TUJUAN PENULISAN MAKALAH
1. Memahami sistem pemerintahan Indonesia dan pengaruh budaya dalam lembaga pemerintahan
2. Mengetahui perkembangan pemerintahan di Indonesia
3. Mengetahui dilema pengaruh budaya dalam lembaga pemerintahan sekarang ini
4. Sebangi salah satu syarat memenuhi tugas mata kuliah ekologi pemerintahan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Budaya
Dalam pergaulan sehari-hari kita menemukan istilah mentalitas. Mentalitas adalah kemampuan rohani yang ada dalam diri seseorang, yang menuntun tingkah laku serta tindakan dalam hidupnya. Pantulan dalam tingkah laku itu menciptakan sikap tertentu terhadap hal-hal serta orang-orang di sekitarnya. Sikap mental ini sebenarnya sama saja dengan sistem nilai budaya (culture value system) dan sikap (attitude).
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai"kultur"dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan olehkebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Pengertian Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Unsur-unsur Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan, antara lain sebagai berikut: Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu: alat-alat teknologi sistem ekonomi keluarga kekuasaan politik Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi: sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya organisasi ekonomi alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) organisasi kekuatan (politik) Wujud dan komponen Wujud Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Sistem nilai budaya adalah rangkaian konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar suatu warga masyarakat. Hal itu menyangkut apa dianggapnya penting dan bernilai. Maka dari itu suatu sistem nilai budaya (atau suatu sistem budaya) merupakan bagian dari kebudayaan yangmemberikan arah serta dorongan pada perilaku manusia. Sistem tersebut
merupakan konsep abstrak, tapi tidak dirumuskan dengan tegas. Karena itu konsep tersebut biasanya hanya dirasakan saja, tidak dirumuskan dengan tegas oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Itu lah juga sebabnya mengapa konsep tersebut sering sangat mendarah daging, sulit diubah apalgi diganti oleh konsep yang baru.
Bila sistem nilai budaya tadi memberi arah pada perilaku dan tindakan manusia, maka pedomannya tegas dan konkret. Hal itu nampak dalam norma-norma, hukum serta aturan-aturan. Norma-norma dan sebagainya itu seharusnya bersumber pada, dijiwai oleh serta merincikan sistem nilai budaya tersebut.
Konsep sikap bukan lah bagian dari kebudayaan. Sikap merupakan daya dorong dalam diri seorang individu untuk bereaksi terhadap seluruh lingkungannya. Bagaimana pun juga harus dikatakan bahwa sikap seseorang itu dipengaruhi oleh kebudayaannya. Artinya, yang dianut oleh individu yang bersangkutan.
Dengan kata lain, sikap individu yang tertentu biasanya ditentukan keadaan fisik dan psikisnya serta norma-norma dan konsep-konsep nilai budaya yang dianutnya. Namun demikian harus pula dikatakan bahwa dalam pengamatan tentang sikap-sikap seseorang sulitlah menunjukkan ciri-cirinya dengan tepat dan pasti. Itu lah juga sebabnya mengapa tidak dapat menggeneralisasi sikap sekelompok warga masyarakat dengan bertolak (hanya) dari asumsi yang umum saja.
Negara Indonesia memang merupakan negara kesatuan. Dalam pengertian Pancasila dan dalam konteks UUD 1945 kesatuan Indonesia itu mempunyai sifat-sifat yang berikut:
1) etis, dalam arti selalu harus dijelaskan, dipahami dan diamalkan dalam kaitannya yang utuh dengan seluruh kerangka asas-asas etika politik Pancasila dan tidak terpisahkan darinya;
2) terbuka baik secara kultural maupun religius, dalam arti tidak menutup diri dalam seluruh sejarahnya terhadap pelbagai pengaruh yang datang dari luar yang lama-kelamaan membentuk jati diri nasionalnya;
3) serasi dan seimbang, dalam arti menghargai dirinya sendiri sebagai negara dan bangsa yang tertentu, sebagaimana adanya tetapi serentak pula menghargai bangsa dan negara lain; dalam
kesadarannya akan ketergantungannya yang tak terelakkan pada bangsa dan negara lain, Indonesia membangun dirinya dengan kepercayaan pada kemampuannya sendiri; 4) berlandaskan hakekat atau kodrat manusia; itulah sebabnya maka merupakan sesuatu yang berlaku secara universal.
Namun demikian segi kebhinekaan selalu memuat di dalam dirinya bahaya disintegrasi baik secara potensial maupun secara nyata. Kesatuan juga bukan tidak membawa masalah dan bahaya.
Bahaya yang mengancam kesatuan itu memustahilkan atau, paling tidak, menyulitkan terwujudnya dialog. Bahaya itu secara umum disebabkan oleh:
1) Sentralisme kekuasaan
Pemusatan kekuasaan yang keterlaluan ini menekankan pendekatan top-down. Pembangunan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah yang tertentu dan konkret. Tanggungjawab daerah juga tidak ada atau, paling tidak, sedikit sekali. Pemusatan kekuasaan ini juga ditopang dan "diabadikan" oleh pendekatan keamanan (security approach). Pemusatan kekuasaan juga mendorong kearah penyeragaman sistem sosial. Pola pemerintahan di seluruh Indonesia nyatanya mengikuti pola pemerintahan desa Jawa (UU No. 5/1979).
2) Etnosentrisme-Primordialisme
Dalam etnosentrisme yang dianggap serta diperlakukan sebagai manusia hanyalah orang sebangsa, sesuku bangsa, sedesa dan sebagainya. Lingkup sikap seperti itu dapat dipersempit oleh atau diperluas lagi. Dalam bentuk luas atau sempit sikap itu nampak dalam primordialisme. Dalam primordialisme orang tidak sanggup lagi mengatasi ketertutupan satuan
sosialnya, tidak dapat dan tidak sanggup lagi mengakui satuan social lainnya serta melibatkan diri di dalamnya. Orang juga tidak hanya menolak orang atau suku bangsa lain termasuk agama serta adat-istiadatnya, melainkan juga membencinya sehabis-habisnya.
Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:
1. Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2. M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.
3. Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.
4. Dr. K. Kupper
Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5. William H. Haviland
Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat, yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat di tarima ole semua masyarakat.
6. Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
7. Francis Merill
- Pola-pola perilaku yang di hasilkan oleh interaksi social
- Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh sesorang sebagai anggota suatu masyarakat yang di temukan melalui interaksi simbolis.
8. Bounded et.al
Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang di harapkan dapat di temukan di dalam media, pemerintahan, intitusi agama, sistem pendidikan dan semacam itu.
9. Mitchell (Dictionary of Soriblogy)
Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktivitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar di alihkan secara genetikal.
10. Robert H Lowie
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang di peroleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang di peroleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang di dapat melalui pendidikan formal atau informal.
11. Arkeolog R. Seokmono
Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan. Dari berbagai definisi di atas, dapat diperoleh kesimpulan mengenai kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
2.2 Pengertian Lingkungan (Ekologi)
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Kita bernapas memerlukan udara dari lingkungan sekitar. Kita makan, minum, menjaga kesehatan, semuanya memerlukan lingkungan.
Pengertian lingkungan adalah tempat dimana mahluk hidup tinggal dimana/ segala sesuatu yang ada di sekitar manusia yang memengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Lingkungan bisa dibedakan menjadi lingkungan biotik dan abiotik. Jika kalian berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar.
Seringkali lingkungan yang terdiri dari sesama manusia disebut juga sebagai lingkungan sosial. Lingkungan sosial inilah yang membentuk sistem pergaulan yang besar peranannya dalam membentuk kepribadian seseorang.
LINGKUNGAN
Secara khusus, kita sering menggunakan istilah lingkungan hidup untuk menyebutkan segala sesuatu yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup segenap makhluk hidup di bumi.
Adapun berdasarkan UU No. 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Unsur-unsur lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1.Unsur Hayati (Biotik)
Unsur hayati (biotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari makhluk hidup, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan jasad renik. Jika kalian berada di kebun sekolah, maka lingkungan hayatinya didominasi oleh tumbuhan. Tetapi jika berada di dalam kelas, maka lingkungan hayati yang dominan adalah teman-teman atau sesama manusia.
2. Unsur Sosial Budaya
Unsur sosial budaya, yaitu lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Kehidupan masyarakat dapat mencapai keteraturan berkat adanya sistem nilai dan norma yang diakui dan ditaati oleh segenap anggota masyarakat.
3. Unsur Fisik (Abiotik)
Unsur fisik (abiotik), yaitu unsur lingkungan hidup yang terdiri dari benda-benda tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Keberadaan lingkungan fisik sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup segenap kehidupan di bumi. Bayangkan, apa yang terjadi jika air tak ada lagi di muka bumi atau udara yang dipenuhi asap? Tentu saja kehidupan di muka bumi tidak akan berlangsung secara wajar. Akan terjadi bencana kekeringan, banyak hewan dan tumbuhan mati, perubahan musim yang tidak teratur, munculnya berbagai penyakit, dan lain-lain.
2.3 Pengertian Pemerintah
Pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.
2.3.1 Pengertian Pemerintah Daerah
Setelah diberlakukannya Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka menurut pasal 1 ayat (2) dan (3), yaitu :
(2) Pemerintah Daerah adalah penyelenggara urusan pemerintah oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip ekonomi seluas–luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaiman dalam Undang -Undang Dasar Republik Indonesia Taahun 1945.
(3) Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
Pemerintah daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. Sebagai pimpinan penyelenggara Pemerintah Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan DPRD, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Adapun kewajiban Kepala Daerah menurut Undang–Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana dilakukan pada pasal 22 :
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi
d. Mewujudkan keadilan pemerataan
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan.
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak.
h. Mengembangkan sistem jaminan sosial.
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah
k. Melestarikan lingkungan hidup
l. Mengelola administrasi kependudukan.
m. Melestarikan nilai sosial budaya.
n. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang – undangan sesuai dengan kewenagannya.
BAB III
PEMBAHASAN
Demokrasi adalah keadaan negara dimana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat. Secara umum prinsip-prinsip demokrasi meliputi adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka,kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas,pemerintahan yang berdasarkan hukum, pers yang bebas, adanya beberapa partai politik, adanya konsensus, adanya persetujuan,pemerintahan yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian,pengawasan tentang administrasi negara, perlindungan hak asasi,pemerintahan yang mayoritas, persaingan keahlian, mekanisme politik,kebebasan kebijaksanaan negara dan pemerintah yang mengutamakan musyawarah.
Demokrasi langsung terjadi bilamana untuk mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat pada suatu negara, setiap warga negara dari negara tersebut boleh langsung menyampaikan hal ikhwal persoalannya dan pendapatnya kepada pihak eksekutif. Demokrasi perwakilan terjadi bilamana untuk mewujudkan kedaulatan di tangan rakyat pada suatu negara, diperlukan adanya semacam lembaga legislatif (parlemen) karena masyarakat yang begitu banyak di satu negara tak mungkin seluruhnya duduk di lembaga tersebut.
Ciri khas dari demokrasi konstitusionil ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Partisipasi politik merupakan kegiatan warga negara preman ( private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah. Sedangkan komunikasi politik merupakan penyampaian pesan yang berkenaan dengan fungsi suatu sistem politik.
Pada hakikatnya teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat.Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris dan Montesquieu dari Perancis.
5. Supremasi aturan-aturan hukum, tidak adanya kekuasaan sewenangwenang dalam arti seseorang hanya boleh di hukum kalau melanggar hukum;
2. Menurut Henry B. Mayo, sistem politik yang demokratis ialah di mana kebijaksanaan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
3. Di pandang dari sudut perkembangan demokrasi, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam 3 masa, yaitu:
1. Masa RI I, yaitu masa demokrasi (konstitusionil) yang menonjolkan peranan parlemen serta partai karena itu dinamakan demokrasi parlementer.
2. Masa RI II, yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusionil yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi rakyat.
3. Masa RI III, yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusionil yang menonjolkan sistem presidensil.
Pengetahuan lingkungan fisik dapat memberikan penjelasan perkembangan dan pengaruh hubungan lingkungan dengan kehidupan manusia,serta sebaliknya pengaruh kehidupan manusia terhadap lingkungan,baik yang bersifat langsung maupun sifatnya yang tidak langsung.
1. Lingkungan fisik dapat digolongkan ke dalam 3 lingkungan fisik yaitu lingkungan geografis, sumber daya alam dan sumber adaya penduduk atau manusia.
2. Pengaruh lingkungan geografis terhadap kehidupan bernegara dapat dikelompokkan atas 7 dimensi pengaruh lingkungan negara dan pemerintahan, yaitu letak negara dalam rotasi bola dunia, bentuk daratan, bentuk air kesuburan tanah dan mineral, iklim, bentuk-bentuk fisik perbatasan negara dan besar kecilnya wilayah negara.
3. Sumber daya alam ialah bagi potensi yang terdapat di dalam lingkungan alam yang dapat diubah menjadi bahan atau energi untuk kepentingan hidup manusia. Kekayaan alam ialah bahan atau energi untuk kepentingan hidup manusia. Kekayaan alam ialah berbagai jenis tumbuhan, hewan dan berbagai material dalam kandungan bumi, baik berupa benda cair maupun benda padat yang dapat memberi manfaat kepada manusia yang memilikinya.
4. Manusia (penduduk) sebagai komunitas yang mendiami bagian-bagian bumi sebagaimana makhluk hidup lainnya merupakan salah satu faktor lingkungan fisik. Manusia (penduduk) tidak saja sebagai tujuan tetapi juga sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, di samping manusia (penduduk) sebagai titik pusat atau tujuan dari lingkungannya, dia adalah unsur lingkungan salah satu spesies faktor animal dan juga adalah faktor ekonomi.
3.1.2 Lingkungan Sosial Pemerintahan
1. Lingkungan sosial pemerintahan ialah semua aspek kehidupan manusia sebagai homo sosial, sebagai homo politicon, homo economic dan homo sapiens di dalam kehidupan bernegara. Semua aspek kehidupan tersebut tidak merupakan unsur yang berdiri sendiri yang lepas dari unsur-unsur lain.Perubahan terhadap unsur yang satu akan berpengaruh terhadap unsurunsur yang lain, hubungan-hubungan tersebut dengan lingkungan alam sekitarnya semakin hari semakin mendapat perhatian dalam mempelajari kehidupan bernegara dan pemerintahannya.
2. Ideologi adalah pola dasar tentang cita-cita yang sifatnya praktis untuk mencapai tujuan suatu kelompok organisasi dalam kehidupan bernegara meliputi bidang sosial, politik, ekonomi dan lain-lain.Bentuk ekstrim dari suatu ideologi ialah bila sifatnya memaksa untuk dijadikan cara hidup yang menggariskan apa yang tidak sejalan dengan ideologinya harus dianggap sebagai penyakit atau musuh.Pada umumnya cara-cara yang ditempuh ideologist untuk menciptakan ideologinya dilakukan melalui 3 cara yaitu :
2. Ideologi dirumuskan atau diciptakan dari hasil pengalaman kelompok atau bangsa yang bersangkutan,
3. Dari pemikiran filosofis, merumuskan ideologi bangsanya dari berbagai pemikiran filosofis atau atas dasar ajaran-ajaran agama yang ada.
3. Sosial budaya sebagai bagian dari unsur lingkungan sosial pemerintahan dapat dibagi atas kebudayaan yang sifatnya nonmaterial dan yang sifatnya material. Kebudayaan yang sifatnya nonmaterial antara lain bahasa,nilai, norma, pengetahuan, pengertian-pengertian dasar yang dihayati oleh masyarakat, dan lain-lain. Sedangkan kebudayaan yang sifatnya material atau fisik ialah benda yang dihasilkan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, misal: benda yang dihasilkan masyarakat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, misal:peralatan, jalan raya, rumah, irigasi, mainan, dan lain-lain.
4. Sosial politik mengandung pengertian yang luas dan sangat fleksibel,sehingga belum ada definisi yang dapat diterima semua pihak. Oleh karena itu yang penting bukan definisinya tetapi pengertian tentang kekuasaan negara, bagaimana terbentuknya kekuasaan negara itu,bagaimana sistem yang baik, bagaimana pembangunan kekuasaan dalam kelembagaan, bagaimana sistem yang baik, bagaimana pembagian kekuasaan dalam kelembagaan, bagaimana administrasinya, apa tujuan dan untuk kepentingan siapa, bagaimana negara itu menentukan kebijaksanaan dan tugas nasional, bagaimana hubungan warga dengan kepala negara, bagaimana negara mengatur hubungan kekuasaan pemerintah dengan perseorangan, kelompok dan parpol, bagaimana negara membela warga dan kepentingan negara dari gangguan yang datang dari dalam dan dari luar, bagaimana negara mengusahakan kemakmuran dan kesejahteraan warganya dan lain-lain.
5. Lembaga perekonomian dikatakan sebagai keseluruhan struktur kemasyarakatan, karena lembaga ini menghubungkan setiap orang dalam kehidupan ekonomi, baik dalam proses produksi maupun dalam proses distribusi barang dan jasa.
6. Keamanan sosial mencakup dimensi sangat luas yang tidak terpisahkan dari masalah ketertiban dan pertahanan. Keamanan sosial meliputi pengertian perseorangan, kelompok, masyarakat dan semua aspeknya.Gangguan terhadap keamanan sosial dapat bersifat material dan immaterial, dapat datang dari dalam maupun dari luar. Dalam perkembangan dewasa ini keamanan sosial dapat dibedakan antara pertahanan keamanan yang berupa gangguan terhadap kepentingan nasional yang timbul dari dalam maupun dari luar dengan ketertiban sosial menyangkut gangguan terhadap kepentingan warga baik secara individual maupun secara kelompok.
3.2 Lingkungan dan korupsi
Perkembangan ekonomi dunia diawali dengan ekonomi klasik yang digagas oleh Adam Smith pada abad ke-18 dengan karyanya Wealth of Nations. Doktrin utama dalam ekonomi klasik adalah adanya invisible handsebagai pengatur pola distribusi sumber daya sehingga peran pemerintah tidak diperlukan, bahkan dianggap akan mengganggu. Mekanisme pasar berdasarkan hukum supply dan demand menjadi penggerak ekonomi. Dalam kondisi yang demikian pelaku ekonomi akan berupaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil mungkin. Dengan terjadinya depresi besar dalam tahun 1930-an, ekonomi klasik dianggap gagal dengan ditandai ketidakmampuan pasar untuk menciptakan keseimbangan. Oleh karena itu kemudian JM Keynes mengajukan konsep baru yang dikenal dengan neoklasik.Konsep ini menekankan bahwa di-butuhkan intervensi pemerintah dalam distribusi sumber daya mengingat pasar tidak mampu menciptakan keseimbangan.
Dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya kebutuhan manusia,ekonomi berlanjut pada tahapan ekonomi sumber daya alam (SDA). Eksplorasi dan eksploitasi SDA dilakukan secara besar-besaran. Dampak dari gaya ekonomi inilah yang sekarang dirasakan oleh dunia.Terjadi perubahan iklim (climate change)yang sangat membahayakan kehidupan di muka bumi. Es yang mencair, tenggelamnya beberapa pulau, banyaknya bencana alam, serta munculnya berbagai penyakit baru adalah awal dari derita yang akan dialami oleh peradaban umat manusia apabila hal ini tidak segera diatasi.Kerusakan lingkungan global yang melampaui batas-batas generasi menunjukkan manusia mengabaikan pemahamannya sendiri bahwa dunia ini sebenarnya terbatas (tragedy of the commons).
Oleh karena itu sekarang muncul ekonomi berikutnya,yakni ekonomi lingkungan (environment economics) atau ekonomi hijau (greenomics). Disadari bahwa dalam implementasinya, ekonomi SDA telah menimbulkan biaya yang sangat besar atau dikenal dengan eksternalitas. Eksternalitas dalam hal ini adalah biaya (transaction cost) yang timbul pada aktivitas atau pihak di luar pelaksanaan kegiatan ekonomi tersebut. Biaya biaya tersebut tetap ada walaupun ada pihak yang tidak menanggungnya secara
langsung.
3.3 Kondisi Budaya Masyarakat di era Otonom Daerah
Manifestasi empirik paradigma yang dianut dalam berotonomi daerah saat ini adalah perubahan struktur kewenangan dan orientasi dari sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik. Kewenangan daerah sangat besar sesuai dengan paradigma otonomi yang luas, bulat dan utuh, sebaliknya kewenangan pusat dan provinsi sangat limitatif. Dalam prakteknya, kondisi ini sering meninggalkan persoalan, seperti mis-persepsi antara gubernur dan bupati/ walikota (Bali Post,30/11-2004) dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Pergeseran kewenangan dan orientasi tersebut, lebih memungkinkan berlangsungnya perubahan mendasar dalam karakteristik relasi kekuasaan antara daerah-daerah dengan pusat serta membuat daerah kabupaten/ kota diberikan keleluasaan untuk menghasilkan kebijakan daerah tanpa adanya campur tangan dari pusat. Pada tataran konseptual, praktek tersebut dilandasi oleh pemikiran Mawhood (1987) tentang desentralisasi politik, yakni devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke daerah untuk mewujudkan persamaan hak-hak politik, akuntabilitas dan responsivitas lokal.
Untuk mencapainya, pemerintah daerah harus memiliki wilayah kekuasaan yang jelas, pendapatan daerah sendiri, DPRD yang mampu mengontrol eksekutif daerah, serta kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Dengan begitu, desentralisasi politik akan mampu menciptakan democratic governance, dimana rakyat memiliki akses yang lebih besar dalam mengawasi jalannya pemerintahan di daerah. Sebaliknya, pemerintah daerah akan lebih responsif terhadap berbagai aspirasi dan tuntutan rakyat.
3.3.1 Problema Otonomi
Namun, hingga akhir pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999 dan menjelang pemberlakuan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terbukti masih banyak dijumpai ketidaksesuaian dalam pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya.
Pertama, adanya persepsi bahwa provinsi tidak lagi memiliki otoritas administratif terhadap kabupaten/kota. Provinsi terkesan ‘takut’, bahkan ‘minder’ untuk menyentuh domein pemerintahan kabupaten /kota, sehingga lebih bersikap menghindari kemungkinan munculnya tuduhan bahwa provinsi mencampuri urusan rumah tangga kabupaten/ kota. Desi Fernanda (2000), dan Tri Widodo (2001), menyebut keadaan di mana provinsi merasa kehilangan rasa percaya diri, takut dan minder untuk berurusan dengan kabupten/kota, sebagai sindrom inferioritas. UU No. 32 tahun 2004 agaknya berupaya mengadopsi problema ini dengan mempertimbangkan perlunya perhatian terhadap aspek-aspek hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah.
Kedua, pengalihan kekuasaan kepada daerah-daerah, dari orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik, (dalam batas tertentu) telah memicu konsolidasi parameter-parameter primordialisme dalam komunitas politik lokal, yang bisa menyuburkan berkembangnya “daerah-isme” secara berlebihan. Padahal, otonomi bukan dan tidak bisa dijadikan sebagai instrumen untuk menjustifikasi penyangkalan terhadap keindonesiaan, sekaligus sebagai pembenaran atas kebangkitan sikap egoisme kelompok (suku, agama, ras), eksklusivisme teritorial (wilayah, daerah, kawasan), primordialisme, serta sikap intoleran terhadap orang atau kelompok lain.
Ketiga, implementasi otonomi daerah selama ini juga masih meninggalkan sejumlah persoalan seputar talik-ulur hubungan keuangan pusat dan daerah, hubungan eksekutif dan legislatif di daerah, serta penataan institusi dan mekanisme lokal. Akibatnya, penerapan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 lalu telah banyak menimbulkan perdebatan wacana, yang menyoroti berbagai persoalan __sebagian ditengarai akibat kelahiran prematur UU ini pada 5 tahun silam.
Akan tetapi, ada satu persoalan yang jarang dicermati, yaitu persoalan “keterbatasan cakrawala” dalam melihat proses otonomi itu sendiri. Otonomi daerah selama ini hanya dilihat dalam cakrawala geo-politik yang terbatas, sebagai proses “terlepasnya” daerah-daerah dari pusat, yang kemudian diberikan kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konteks kajian budaya (cultural studies), cara pandang demikian menjadi parsial karena batas-batas geo-politik dan sosio-kultural sudah mencair dari kesatuan-kesatuan sosial yang ada sebelumnya. Implikasinya, provinsi, kabupaten, dan kota tidak lagi dapat menentukan, mendefinisikan diri dan lingkungannya dalam kerangka berpikir dan bertindak secara utuh sebagaimana sebelumnya. Prinsip Heteronomi Dalam kondisi seperti itu, tidak berlebihan harapan untuk memaknai otonomi dalam kerangka perubahan kultural yang lebih luas dan holistik, yang didalamnya berbagai keuntungan bisa diperoleh. Konsepsi JF Lyotard (1989), misalnya, menekankan prinsip “pengaturan”, yang disebut: “postmodernisme”. Prinsip tersebut dibangun berdasarkan “dekonstruksi” terhadap apa yang disebut sebagai Narasi Besar (berbagai asumsi mengenai universalitas, homogenitas dan sentralitas), untuk kemudian berpencar ke arah “narasi-narasi kecil” (berbagai asumsi mengenai heterogenitas, pluralitas dan lokalitas). Oleh karena itu, kenyataan yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah multikulturalisme yang berusaha menembus “pengkotakan” dan batas-batas dualisme yang ada. Begitupun kewajiban yang sangat relevan bagi postmodernisme adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak untuk berbeda secara budaya (the right of cultural diversity).
Sebagai realisasinya, Piliang (2003), menganjurkan agar perspektif untuk melihat otonomi diperluas, dengan melihat otonomi sebagai sebuah jaringan (web), yang di dalamnya dapat dibangun garis-garis hubungan antar budaya (trans-cultural) yang sangat kaya, inilah filsafat trans-politics. Di dalam jaringan kultural tersebut, setidak-tidaknya terdapat tiga relasi kultural yang dapat dibangun, yaitu antardaerah (local-local), antar daerah dan pusat (local-center), antara daerah dan unsur-unsur global (local-global).
Perspektifi otonomi demikian, diistilahkannya dengan heteronomi yakni sebuah prinsip pengaturan yang menghargai heterogenitas. Di dalamnya, keanekaragaman cenderung dilihat sebagai sebuah hal yang positif dan produktif dalam upaya pengembangan berbagai bentuk kreativitas (daerah, suku, agama). Berbagai unsur budaya yang plural diberikan hak hidup secara adil, di dalam sebuah ruang demokratisasi kultural.
Dengan paradigma heteronomi, otonomi daerah dipandang dari sudut postmodernisme dan multikulturalisme, yakni proses dekonstruksi terhadap struktur pemerintah Orde Baru, yang bersifat otoritarian-sentralistik. Lalu, dilanjutkan dengan proses rekonstruksi “narasi-narasi kecil”, berupa daerah-daerah otonom yang plural dan terpinggirkan, yang diharapkan dapat meregulasi dirinya masing-masing. Tahap ini perlu “pengaturan bersama” agar narasi-narasi kecil tersebut tak berubah wujud menjadi “fasis-fasis kecil”, yang didasari oleh primordialisme. Setiap komunitas dibiarkan hidup dengan wacana dan rasionalitas lokal masing-masing yang selama ini sudah “jalan” sebagai bentuk kehidupan yang diakrabi, menjadi sebuah tradisi. Tradisi semacam ini dengan “rasionalitas lokal” masing-masing dapat diketegorikan ke dalam terminologi Kuhn (1962) sebagai “paradigma”, yang dalam realitas masih sangat membutuhkan toleransi.
3.4 Pengaruh Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat
Budaya merupakan salah satu unsur dasar dalam kehidupan social. Budaya mempunyai peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian dan pola piker masyarakat tertentu. Budaya mencakup perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola berpikir mereka, kepercayaan, dan ideology yang mereka anut.
Tentu saja pada kenyataannya budaya antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, terlepas dari perbedaan karakter masing-masing kelompok masyarakat ataupun kebiasaan mereka. Realitas yang multi budaya ini dapat kita jumpai di negara-negara dengan komposisi penduduk yang terdiri dari berbagai etnis, seperti Indonesia, Uni Soviet (sekarang, Rusia), Yugoslavia (sekarang terpecah menjadi beberapa Negara) dan lain-lainnya. Kondisi Negara dengan komposisi multi budaya rentan terhadap konflik dan kesenjangan social. Memang banyak factor yang menyebabkan terjadinya berbagai konflik tersebut, akan tetapi sebagai salah satu unsur dasar dalam kehidupan social, budaya mempunyai peranan besar dalam memicu konflik.
Teori Kebudayaan
Secara umum kebudayaan banyak diartikan sebagai hasil karya manusia yang lahir dari cipta, rasa dan karsa. Berikut ada empat teori dan pendekatan kebudayaan, yaitu:
1. Memandang kebudayaan sebagai kata benda: Dalam arti lewat produk budaya kita mendenifisikan dan mengelola kebudayaan itu. Teori produk budaya ini juga penting karena semua hasil budaya yang ada di muka bumi merupakan produk budaya kolektif manusia. Identitas budaya dapat dilihat dari pendekatan ini.
2. Memandang kebudayaan sebagai kata kerja: Pendekatan ini dikemukakan oleh Pleh Van Peursen. Pendekatan ini juga penting untuk dipahami, karena akan mampu menjelaskan kepada kita bagaimana proses-proses budaya itu terjadi di tengah kehidupan kita. Produk-produk budaya yang kita pahami lewat pendekatan pertama di atas ternyata juga menyiratkan adanya proses-proses budaya manusia yang oleh Van Peursen disebut ada tiga terminal proses budaya. Kehidupan mistis dimana mitos berkuasa, atau kuasa mitos mengemudikan arah kebudayaan suatu masyarakat, dilanjutkan dengan hadirnya kehidupan ontologis dan yang terakhir adalah kehidupan fungsional yang hari-hari ini lebih mendominasi kehidupan budaya kita.
3. Memandang kebudayaan sebagai kata sifat: Ini untuk membedakan mana kehidupan yang berbudaya dan tidak berbudaya, membedakan antara kehidupan manusia yang berbudaya dan makhluk lain seperti hewan dan benda-benda yang tidak memiliki potensi budaya. Dalam memandang kebudayaan sebagai kata sifat maka unsur nilai-nilai menjadi sangat penting. Kebudayaan dikonstruksi sebagai konfigurasi nilai-nilai atau sebagai kompeksitas nilai-nilai yang kemudian beroperasi pada berbagai-bagai level kehidupan. Konfigurasi nilai yang dimiliki berbagai komunitas budaya yang berbeda kemudian melahirkan konstruksi budaya yang berbeda-beda pada komunitas budaya itu.
4. Memandang kabudayaan sebagai kata keadaan: Kondisi-kondisi budaya tertentu menjadi menentukan wajah kebudayaan.
Ragam dan Unsur-Unsur Budaya
Setiap kelompok masyarakat punya tradisi dan kebudayaan tersendiri, yang tentu saja berbeda satu sama lainnya. Kebudayaan-kebudayaan yang lebih sempurna dari suatu masyarakat yang nantinya akan dapat menjadi sebuah peradaban. Namun, walaupun masing-masing mempunyai keunikan tersendiri, budaya terdiri dari unsur-unsur dan mempunyai fungsi-fungsi tersendiri bagi masyarakatnya.
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat kesatuan. Misal dalam kebudayaan Indonesia dapat dijumpai unsur besar seperti umpamanya seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat di samping adanya unsur-unsur kecil, seperti sisir, kancing, baju, peniti, dan lain-lainnya yang dijual di pinggir jalan. Marville J. Herskovits mengajukan 4 unsur pokok kebudayaan, yaitu:
1. alat-alat teknologi,
2. sistem ekonomi,
3. keluarga, dan
4. kekuasaan polotik.
Sementara Bronislaw Malinowski yang terkenal sebagai salah seorang pelopor teori fungsional dalam anthropologi, menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:
1. system norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat di dalam upaya menguasai alam sekelilingnya,
2. organisasi ekonomi
3. alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan; perlu diingat bahwa keluarga merupakan pendidikan yang utama, dan
4. organisasi kekuatan.
Pada intinya para ahli menunjuk pada adanya 7 unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals, yaitu:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dan sebagainya).
2. Mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, system produksi, system distribusi dan sebagainya).
3. Sistem kemasyarakatan (system kekerabatan organisasi politik, system hokum, system perkawinan).
4. Bahasa (lisan maupun tertulis).
5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya).
6. Sistem pengetahuan dan pendidikan.
7. Religi (system kepercayaan).
Cultural-universals tersebut di muka, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil. Ralph Linton menyebutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan atau cultural activity. Sebagai contoh, cultural universals pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, system produksi, system distribusi, dan lain-lain. Kesenian misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara, dan lain-lain. Selanjutnya Ralph Linton merinci kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih kecil lagi yang disebutnya trait-complex. Misalnya, kegiatan pertanian menetap meliputi unsur-unsur irigasi, system mengolah tanah dengan bajak system hak milik atas tanah dan lain sebagainya. Selanjutnya trait-complex mengolah tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil lagi, umpamanya hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. Akhirnya sebagai unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits, adalah items.
Kebudayaan, selain memiliki unsur-unsur pokok, juga mempunyai sifat hakikat. Sifat hakikat kebudayaan ini berlaku umum bagi semua kebudayaan di manapun juga, walaupun kebudayaan setiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Sifat hakikat kebudayaan tersebut ialah sebagai berikut:
1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.
2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.
3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah-lakunya.
4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Definisi Kepribadian
Sejak dahulu para ahli biologi yang mempelajari perilaku dan membuat pelukisan tentang sistem organisme dari suatu spesies mulai dari prilaku mencari makan, menghindari ancaman bahaya, menyerang musuh, beristirahat, mencari pasangan, kawin dan lain-lain. Berbeda dengan organism hewan, organisme manusia juga dipelajari oleh para ahli sampai pada hal yang terkecil. Namun hal itu tidak dapat menentukan pola tingkah lakunya.
Pola-pola tingkah laku tersebut hampir semua tidak sama bahkan bagi semua jenis ras yang ada di bumi. Hal tersebut tidak dapat diseragamkan karena seorang manusia yang disebut homo sapiens bukan saja ditentukan oleh sistem organik biologinya saja, namun dipengaruhi juga oleh akal dan jiwa sehingga timbul variasi pola tingkah laku tersebut. Melihat hal tersebut, maka para ahli lebih fokus kepada pola tindakan manusia. Dengan pola tingkah laku yang lebih khusus yang ditentukan oleh nalurinya, dorongan-dorongan, dan refleksnya. Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan seorang individu disebut “ Kepribadian “. Dalam bahasa populer istilah kepribadian juga berarti ciri-ciri watak yang konsisten, sehingga seorang individu memiliki suatu identitas yang khas berbeda dengan individu yang lain. Konsep kepribadian yang lebih spesifik belum bisa di definisikan sampai sekarang karena luasnya cakupan dan sulit untuk dirumuskan dalam satu definisi sehingga cukup kiranya untuk kita memakai arti yang lebih kasar sampai didapatkan definisi yang sebenarnya dari para ahli psikologi.
Unsur – Unsur dan Aneka Warna Kepribadian
Pengetahuan, unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar, terkandung di dalam otaknya secara sadar. Manusia memiliki panca indra yang sebagai alat penerima dari setiap kondisi dan situasi di alam sekitarnya yang mengalami proses fisik, fisiologi, psikologi sehingga getaran dan tekanan dari alat penerima tersebut nantinya diproyeksikan atau dipancarkan kembali oleh individu tersebut berupa gambaran lingkungan sekitar yang dalam ilmu antropologi disebut “ Persepsi “. Penggambaran tersebut dapat menjadi bayangan dimana individu tersebut berfokus.
Penggambaran tentang situasi dan kondisi lingkungan dengan fokus pada bagian-bagian yang menarik dan mendapat perhatian lebih akan diolah oleh akal dan dihubungkan dengan penggambaran yang sejenis dan diproyeksikan oleh akal dan muncul kembali menjadi kenangan. Pengambaran baru dengan pengertian baru dalam psikologi disebut “ apersepsi”. Penggambaran yang terfokus secara lebih intensif yang terjadi karena pemusatan yang lebih intensif dalam psikologi disebut “pengamatan”. Seseorang dapat menggabungkan dan membandingkan bagian-bagian dari suatu penggambaran yang sejenis secara konsisten dan azas tertentu. Dengan kemampuan proses akal tersebut membentuk penggambaran baru yang abstrak yang tidak mirip dengan berbagai macam bahan konkret dari penggambaran yang baru tadi. Penggambaran abstrak tadi dalam ilmu sosial disebut “konsep”. Cara pengamatan yang secara sengaja dibesar-besarkan atau ditambahi atau di kurangi pada bagian tertentu sehingga membentuk penggambaran yang sangat baru yang secara nyata sebenarnya tidak pernah ada dan terkesan tidak realistik disebut “fantasi“. Keinginan yang semakin menggebu-gebu untuk mendapatkan sesuatu yang telah di gambarkan terlebih dahulu akan menimbulkan suatu perasaan yang aneh dan tekanan jiwa. Seluruh penggambaran, apersepsi, persepsi, pengamatan, konsep, dan fantasi merupakan unsur pengetahuan yang secara sengaja dimiliki seorang individu. Namun semua itu bisa hilang dari akalnya yang sadar yang disebabkan oleh berbagai hal yang sampai saat ini masih dipelajari oleh ahli psikologi. Unsur pengetahuan tersebut bukannya hilang atau lenyap namun terdesak ke bagian jiwanya yang dalam ilmu psikologi disebut “alam bawah sadar”.
Di alam bawah sadar tersebut, pengetahuan seseorang tercampur, terpecah-pecah menjadi bagian yang tercampur aduk tidak teratur. Ini dikarenakan akal sadar seseorang tidak mau menyusunnya dengan rapi sehingga adalakanya muncul sacara tiba-tiba secara utuh atau terpotong bercampur dengan pengetahuan yang berbeda. Adakalanya pengetahuan seseorang secara sengaja atau karena berbagai sebab terdesak ke dalam bagian jiwa yang lebih dalam yang oleh ilmu psikologi disebut “alam tak sadar”. Proses yang terjadi dalam alam bawah sadar banyak dipelajari oleh ahli psikologi dan dikembangkan oleh S. Freud dalam ilmu psikoanalisa.
Selain pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam perasaan.
Selain pengetahuan, alam kesadaran manusia juga mengandung berbagai macam perasaan.
“Perasaan” adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilai sebagai keadaan yang positif atau negative. Suatu perasaan yang bersifat subjektif karena adanya unsur penilaian tadi biasanya menimbulkan “kehendak” dalam kesadaran seseorang. Perasaan atau keinginan yang berdebar-debar tersebut disebut “emosi”. Kesadaran manusia juga mengandung berbagai perasaan yang di pengaruhi oleh organismenya khususnya gen sebagai naluri yang disebut “dorongan”. Sedikitnya ada 7 dorongan naluri yaitu:
1. Dorongan untuk mempertahankan hidup
2. Dorongan seks
3. Dorongan mencari makan
4. Dorongan untuk bergail / berinteraksi dengan sesama
5. Dorongan untuk menirukan tingkah laku sesamanya
6. Dorongan untuk berbakti
7. Dorongan untuk keindahan
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa kepribadian seseorang dibentuk oleh pengetahuan yang dimilikinya dari penggambaran dunia sekitarnya serta fantasi mengenai berbagai macam hal, juga ada materi yang menjadi objek dan sasaran unsur kepribadian secara sistematis.
Ada 3 hal yang merupakan isi keribadian yang pokok yaitu:
1. Beragam kebutuhan organik diri sendiri, kebutuhan dan dorongan psikologi diri sendiri, serta dorongan organik maupun psikologi sesama manusia selain diri sendiri.
2. Beragam hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu akan identitas diri sendiri dari aspek fisik, psikologi, yang menyangkut kesadaran individu.
3. Beragam cara untuk memenuhi, memperkuat, berhubungan, mendapatkan atau menggunakan beragam kebutuhan sehingga tercapai rasa kepuasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Aneka ragam kepribadian individu dan Kebudayaan
Adanya beragam struktur kepribadian manusia disebabkan adanya beragam isi dan sasaran dari pengetahuan, perasaan, kehendak dan keinginan kepribadian serta perbedaan kualitas hubungan antar berbagai unsur kepribadian dalam kesadaran individu. Mempelajari materi dari setiap unsur kepribadian merupakan tugas psikologi yang berupa kebiasaan / habit atau berbagai macam materi yang menyebabkan timbulnya kepribadian.
· Kebiasaan ( Habit
· Adat istiadat (custom)
· Sistem social (social system)
· Kepribadian individu (individual personality)
· Kepribadian umum (modal personality)
· Kebiasaan, adat dan kepribadian
Karena materi yang merupakan isi dari pengetahuan dan perasaan seorang individu berbeda dengan individu yang lain, dan juga sifat serta intensitas kaitan antara beragam bentuk pengetahuan maka setiap manusia memiliki kepribadian yang khas. Dari berbagai jenis kepribadian tersebut telah diringkas menjadi berbagai type dan sub type yang merupakan tugas psikologi. Walaupun begitu, antropologi dan ilmu sosial lainnya juga memperhatikan masalah kepribadian ini walaupun hanya memperdalam atau memahami adat istiadat dan sistem sosial lainya. Ini dikarenakan ada hubungan yang sangat jelas antara kepribadian individu atau kelompok dengan adat dan kebudayaan suatu daerah. Dimana kebudayaan itu mempengaruhi pembentukan pola kepribadian seorang individu.
Berbicara mengenai kepribadian dan kebudayaan, tidak terlepas dari hubungan antara masyarakat dan kebudayaan. Masyarakat dan kebudayaan merupakan perwujudan atau abstraksi perilaku manusia. Kepribadian mewujudkan perilaku manusia. Perilaku manusia dapat dibedakan dengan kepribadiannya, karena kepribadian merupakan latar belakang perilaku yang ada dalam diri seorang individu.
Kepribadian mencakup kebiasaan-kebiasaan, sikap, dan lain-lain sifat ynag khas dimiliki seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain. Kepribadian sebenarnya merupakan organisasi faktor-faktor biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendasari perilaku individu. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi suatu individu baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam menelaah pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian, sebaiknya dibatasi pada bagian kebudayaan yang secara langsung mempengaruhi kepribadian. Berikut tipe-tipe kebudayaan khusus yang nyata mempengaruhi bentuk kepribadian yakni:
1. Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar factor kedaerahan. Di sini dijumpai kepribadian yang saling berbeda antara individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat tertentu, karena masing-masing tinggal di daerah yang tidak sama dan dengan kebudayaan-kebudayaan khusus yang tidak sama pula. Contoh adat-istiadat melamar mempelai di Minangkabau berbeda dengan adat-istiadat melamar mempelai di Lampung.
2. Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda (urban dan rural ways of life). Contoh perbedaan antara anak yang dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa. Anak kota terlihat lebih berani untuk menonjolkan diri di antara teman-temannya dan sikapnya lebih terbuka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan kebudayaan tertentu. Sedangkan seorang anak yang dibesarkan di desa lebih mempunyai sikap percaya diri sendiri dan lebih banyak mempunyai sikap menilai (sense of value).
3. Kebudayaan khusus kelas sosial. Di dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan sosial karena setiap masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu pula.
4. Kebudayaan khusus atas asar agama. Agama juga mempunyai pengaruh besar di dalam membentuk kepribadian seorang individu. Bahkan adanya berbagai madzhab di dalam satu agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda-beda pula di kalangan umatnya.
5. Kebudayaan berdasarkan profesi. Pekerjaan atau keahlian juga memberi pengaruh besar pada kepribadian seseorang. Kepribadian seorang dokter, misalnya, berbeda dengan kepribadian seorang pengacara, dan itu semua berpengaruh pada suasana kekeluargaan dan cara-cara mereka bergaul.
3.5 Pengaruh Budaya Dalam Kehidupan Pemerintahan
Kebudayaan yang selalu mencoba untuk bertahan secara relevan mengikuti perjalanan jaman. Pada hakikatnya, kebudayaan yang hidup dan melekat pada jiwa suatu bangsa, sudah layak dan sepantasnya menjadi sebuah kebanggan yang dirasakan dan dimiliki bersama oleh seluruh insan yang bernaung di dalam bangsa itu sendiri. Budaya hadir sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan bersama serta sebagai sesuatu yang mepersatukan.
Menurut pandangan saya, kearifan lokal merupakan nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dan berkembang di suatu masyarakat. Dalam kehidupan sosial budaya, kearifan lokal hadir untuk membangun rasa kerinduan akan kehidupan tempo dulu yang kemurnian budaya dan kejayaannya untuk bertahan terasa ‘sulit’ diwujudkan dijaman sekarang ini. Kita tak bisa mengelak bahwa sedikit banyak, kita belajar dari kehidupan dahulu yang sering kita sebut sebagai sejarah. Dengan mengetahui sejarah, sudah sepatutnya kita belajar dari masa-masa keemasan dimana budaya masih kental melekat di hati setiap komponen di negeri ini.
Dalam hal ini, kearifan lokal memegang peran penting untuk menjembatani pola pikir kehidupan masa lalu dengan masa sekarang dalam rangka mencetak kader pemimpin bangsa yang mencintai bangsanya sepenuh hati dan bersedia berjuang sehidup semati untuk Indonesia. Dengan kata lain, kearifan lokal merupakan landasan dasar suatu bangsa untuk menemukan jati diri dan identitasnya secara mandiri.
Namun, waktu yang terus bergulir bersama perkembangan jaman seakan menenggelamkan apa yang sudah dipertahankan selama ini : kehidupan sosial budaya. Budaya barat dan berbagai pembangunan di segala bidang yang berkembang sedemikian pesatnya seolah menjadi raksasa ‘penyedot’ kebudayaan lokal beserta kehidupan sosial yang berkembang didalamnya. Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dengan kebudayaan daerahnya masing-masing yang dipersatukan dalam Budaya Nusantara. Keindahan kebudayaan Indonesia yang beragam itu disambut dan dihargai dengan sempurna di mata dunia. Namun, agaknya, di negeri sendiri, budaya-budaya sempurna itu lambat laun luntur dimakan sang waktu. Kita sering melupakannya! Kita baru bergerak cepat dan menggungat liar saat budaya kita diambil oleh negara lain karena keindahannya. Apakah hal ini yang patut bangsa kita munculkan untuk disajikan ke permukaan dunia.
Selain kesenian, kearifan lokal yang lain nampak dalam kehidupan warga masyarakat dalam kemajemukan warga masyarakat Muntilan Kehidupan di Kota Muntilan ini begitu akur, rukun dan damai. Hal ini nampak pada saat diadakan doa bersama memperingati 40 hari meninggalnya Gus Dur yang diadakan di Klenteng Hok An Kiong Muntilan pada bulan Januari 2010 yang lalu dengan diikuti oleh setiap perwakilan dari kelima kepercayaan yang ada yaitu: Agama Buddha, Katholik, Kristen, Khonghucu, dan Islam. Modernisasi dan kebudayaan barat yang masuk serta berbagai macam pembangunan di berbagai bidang, memang menantang warga Muntilan untuk secara selektif memilah dan memilih. Namun, kehidupan sosial budaya tetap digenggam dan dipertahankan, tanpa takut termakan waktu. Contoh kearifan lokal di kota Muntilan ini terwujud oleh peran serta masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkannya. Saya berharap, contoh ini dapat diwujudkan dan berimbas kepada seluruh komponen Bangsa Indonesia dalam Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi landasan bagi tingkah lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dimiliki oleh manusia dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah lakunya.
Kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia merupakan kebudayaan yang majemuk dan sangat kaya ragamnya. Perbedaan ini selain disebabkan oleh adanya enam agama yang dimiliki dan diakui oleh Negara, 18.018 pulau, 33 provinsi, 378 kabupaten/kota, 403 suku dan etnis dan kurang lebih 300 bahasa lokal, juga disebabkan karena pengaruh dari budaya lain yang ikut bercampur di dalamnya, diantaranya; pengaruh budaya dari Cina, India, Arab, Barat dan Eropa.
Ditinjau dari definisi budaya itu sendiri tersirat tujuan yang sangat mulia, sehingga tidak dapat mengkambing hitamkan budaya secara langsung sebagai salah satu faktor penyebab munculnya konflik atau tidak adanya kedamaian, terlebih dengan melihat unsur-unsur budaya itu sendiri;
1. System religi atau upacara keagamaan sebagai homoreligius dimana manusia mempunyai kecerdasan, perasaan luhur dan anggapan bahwa ada kekuatan lain yang maha besar yang dapat menghitam putihkan kehidupannya.
2. System organisasi kemasyarakatan sebagai homosocius dimana manusia sadar akan kelemahannya dan dengan akalnya menyusun kekuatan dengan membuat organisasi kemasyarakatan sebagai wadah untuk bekerja sama mencapai tujuan, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
3. System mata pencaharian sebagai homoeconomicus dimana manusia menjadikan tingkat kehidupannya secara umum terus meningkat.
Menurut Kontjoraningrat mengatakan bahwa, sedikitnya ada empat macam sumber konflik dalam masyarakat majemuk, yaitu:
1. Adanya persiangan antara kelompok etnik dalam memperoleh sumber kehidupan.
2. Ada kelompok etnik yang memaksakan kebudayaan kepada kelompok etnik lain.
3. Ada golongan agama yang memaksakan ajarannya kepada golongan agama lain.
4. Adanya potensi konflik yang telah mengakar dalam masyarakat. Jika keempat sumber ini dapat dibendung maka akan tercipta kedamaian.
Pengaruh budaya sangat alami dan otomatis, sehingga pengaruhnya terhadap perilaku sering diterima begitu saja. Ketika kita ditanya mengapa kita melakukan sesuatu, maka kita akan menjawab secara spontanitas, “ya karena memang sudah seharusnya begitu”. Jawaban ini berupa jawaban otomatis yang menunjukkan atas pengaruh budaya dalam perilaku sehari-hari. Ketika kita berhadapan dengan masyarakat yang memiliki budaya, nilai dan kepercayaan yang berbeda dengan kita, barulah menyadari bagaimana budaya tersebut telah membentuk perilaku. Kemudian akan muncul apresiasi terhadap budaya sendiri di saat berhadapan dengan budaya yang berbeda.
Budaya ada untuk memuaskan kebutuhan masyarakat. Budaya memberikan petunjuk dan pedoman dalam menyelesaikan masalah dengan menyediakan metode “tried and true” dalam memuaskan kebutuhan fisiologis, personal dan sosial. mengembangkan budaya atas dasar Kearifan Lokal.
DAFTAR PUSTAK
Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lubis, Ridwan. 2005. Meretas Wawasan dan Praksis Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. Departemen Agama RI.
Soekanto, Soerjono. 1994. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cetakan kedelapan.
Soekanto, Soerjono. 1993. Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cetakan kedua.
Koentjoroningrat, Pengantar antropologi I.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I
1.1 Latar Belakang
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Metodologi Penulisan
1.4 Tujuan Penulisan
BAB II
2.1 Pengertian Budaya
2.2 Pengertian Ekologi
2,3pengertian Pemerintah Daerah
BAB III
3.1 Demokrasi Dan Lingkungan Pemerintah
3.1.1 Lingkungan Fisik Pemerintahan
3.1.2 Lingkungan Sosial Pemerintahan
3.2 Lingkungan Dan Korupsi
3.3 Kondisi Budaya Masyarakat Di Era Otonomi
3.3.1 Problema Otonomi
3.4 Pengaruh Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat
3.5 Pengaruh Budaya Dalam Kehidupan Pemerintahan